makalah Human Trafficking, Pengertian Human
Trafficking, Penanggulangan Human Trafficking
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Isu
perdagangan manusia atau trafficking khususnya perempuan dan anak
beberapa bulan terakhir cukup mendapat soroton di berbagai media massa. Media
massa tidak hanya sekedar menyoroti kasus-kasus tersebut saja, akan tetapi
juga lika- liku tindakan penyelamatan yang dilakukan aparat penegak hukum
terhadap korban serta bagaimana upaya pemerintah dalam mengatasi permasalahan
tersebut. Kasus- kasus perdagangan manusia yang cukup mendapat sorotan media
beberapa waktu yang lalu misalnya kasus penjualan tujuh orang perempuan Cianjur
yang diperdagangkan sebagai pekerja seks komersial (PSK) ke Pekanbaru, Riau
yang berhasil diselamatkan oleh Polres Cianjur beberapa waktu yang lalu.
Upaya lainnya adalah upaya penyelamatan terhadap dua orang perempuan korban
perdagangan perempuan yang dibebaskan oleh reporter SCTV dari Tekongnya di
Malaysia. Dari kasus-kasus tersebut telah menguatkan bahwa trafficking merupakan
pelanggaran hak asasi manusia dan salah satu masalah yang perlu penanganan
mendesak bagi seluruh komponen bangsa Indonesia. Karena hal ini
mempengaruhi citra bangsa Indonesia itu sendiri dimata dunia internasional.
Apalagi, data Departemen LuarNegeri Amerika Serikat telah menunjukkan
bahwa Indonesia berada pada urutan ketiga sebagai pemasok perdagangan perempuan
dan anak.
Dari uraian
tersebut di atas, tulisan ini akan mengulas secara singkat mengenai apa
itu perdagangan manusia khususnya perempuan dan anak, bagaimana bentuk, tujuan
dan pola perdagangan serta upaya penanggulangannya.
B. Tujuan
Tujuan dari
isi makalah ini adalah :
a. Mengetahui
istilah dari Human Trafficking
b. Mengerti
cara mencegah dan menanggulangi Human Trafficking
c. Dapat
memberikan tindakan nyata sebagai bentuk rasa simpati terhadap korban Human
Trafficking
PEMBAHASAN
A. Pengertian Human Trafficking
Persatuan
Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan trafficking sebagai:
Perekrutan,
pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman,
atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan,
penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi
atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang
mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. (Protokol PBB
tahun 2000 untuk Mencegah, Menanggulangi dan Menghukum Trafficking terhadap
Manusia, khususnya perempuan dan anak-anak; Suplemen Konvensi PBB mengenai
Kejahatan Lintas Batas Negara).
Dari definisi
tersebut, dapat disimpulkan bahwa istilah trafficking merupakan:
a. Pengertian
trafficking dapat mencakup kegiatan pengiriman tenaga kerja, yaitu kegiatan
memindahkan atau mengeluarkan seseorang dari lingkungan tempat
tinggalnya/keluarganya. Tetapi pengiriman tenaga kerja yang dimaksud tidak
harus atau tidak selalu berarti pengiriman ke luar negeri.
b. Meskipun
trafficking dilakukan atas izin tenaga kerja yang bersangkutan, izin tersebut
sama sekali tidak menjadi relevan (tidak dapat digunakan sebagai alasan
untuk membenarkan trafficking tersebut) apabila terjadi penyalahgunaan atau
korban berada dalam posisi tidak berdaya. Misalnya karena terjerat hutang,
terdesak oleh kebutuhan ekonomi, dibuat percaya bahwa dirinya tidak mempunyai
pilihan pekerjaan lain, ditipu, atau diperdaya.
c. Tujuan
trafficking adalah eksploitasi, terutama tenaga kerja (dengan menguras habis
tenaga yang dipekerjakan) dan eksploitasi seksual (dengan memanfaatkan
kemudaan, kemolekan tubuh, serta daya tarik seks yang dimiliki tenaga kerja
yang yang bersangkutan dalam transaksi seks).
Sedangkan Global
Alliance Against Traffic in Woman (GAATW)mendefinisikan perdagangan (trafficking):
Semua usaha
atau tindakan yang berkaitan dengan perekrutan, pembelian, penjualan, transfer,
pengiriman, atau penerimaan seseorang dengan menggunakan penipuan atau tekanan,
termasuk pengunaan ancaman kekerasan atau penyalahgunaan kekuasaan atau lilitan
hutang dengan tujuan untuk menempatkan atau menahan orang tersebut, baik
dibayar atau tidak, untuk kerja yang tidak diinginkan (domestik seksual
atau reproduktif) dalam kerja paksa atau dalam kondisi perbudakan, dalam suatu
lingkungan lain dari tempat dimana orang itu tinggal pada waktu penipuan,
tekanan atau lilitan hutang pertama kali.
Dari definisi
ini, dapat disimpulkan bahwa istilah perdagangan(trafficking) mengandung
unsur-unsur sebagai berikut:
Ø Rekrutmen
dan transportasi manusia
Ø Diperuntukkan
bekerja atau jasa/melayani
Ø Untuk
kepentingan pihak yang memperdagangkan
B. Faktor
Penyebab Human Trafficking
Tidak ada
satu pun yang merupakan sebab khusus terjadinya trafficking manusia di
Indonesia. Trafficking disebabkan oleh keseluruhan hal yang terdiri dari
bermacam-macam kondisi serta persoalan yang berbeda-beda. Termasuk ke dalamnya
adalah:
· Kemiskinan
Menurut data
Badan Pusat Statistik (BPS) adanya kecenderungan jumlah penduduk miskin
terus meningkat dari 11,3% pada tahun 1996 menjadi 23,4% pada tahun 1999,
walaupun berangsur-angsur telah turun kembali menjadi 17,6% pada tahun
2002, kemiskinan telah mendorong anak-anak untuk tidakbersekolah
sehingga kesempatan untuk mendapatkan keterampilan kejuruan serta kesempatan
kerja menyusut. Seks komersial kemudian menjadi sumber nafkah yang mudah untuk
mengatasi masalah pembiayaan hidup. Kemiskinan pula yang mendorong kepergian
ibu sebagai tenaga kerja wanita yang dapat menyebabkan anak terlantar tanpa
perlindungan sehingga beresiko menjadi korban perdagangan manusia.
· Keinginan cepat kaya
Keinginan
untuk hidup lebih layak, tetapi dengan kemampuan yang minim dan kurang
mengetahui informasi pasar kerja, menyebabkan mereka terjebak dalam
lilitan hutang para penyalur tenaga kerja dan mendorong mereka masuk dalam
dunia prostitusi.
· Pengaruh sosial budaya
Disini
misalnya, budaya pernikahan di usia muda yang sangat rentan terhadap
perceraian, yang mendorong anak memasuki eksploitasi seksual komersial.
Berdasarkan UU Perkawinan No.1/1974, perempuan Indonesia diizinkan untuk
menikah pada usia 16 tahun atau lebih muda jika mendapat izin dari pengadilan.
Meskipun begitu, dewasa ini pernikahan dini masih berlanjut dengan persentase
46,5% perempuan menikah sebelum mencapai usia 18 tahun dan 21,5% sebelum
mencapai usia 16 tahun. Tradisi budaya pernikahan dini menciptakan masalah
sosio-ekonomi untuk pihak lelaki maupun perempuan dalam
perkawinan tersebut. Tetapi implikasinya terutama terlihat jelas bagi
gadis/perempuan. Masalah-masalah yang mungkin muncul bagi perempuan dan gadis
yang melakukan pernikahan dini antara lain: Dampak buruk pada kesehatan(kehamilan
prematur, penyebaran HIV/AIDS), pendidikan terhenti, kesempatan ekonomi
terbatas, perkembangan pribadi terhambat dan tingkat perceraian yang tinggi.
Masing-masing
isu diatas adalah masalah sosial yang berkenaan dengan kesejahteraan anak
perempuan khususnya penting dalam hal kerentanan terhadap perdagangan. Hal ini
dikarenakan:
1. Perkembangan
pribadi yang terhambat, membuat banyak gadis tidak mempunyai bekal keterampilan
kerja yang cukup berkembang, sehingga mereka akan kesulitan untuk berunding
mengenai kodisi dan kontrak kerja, atau untuk mencari bantuan jika mengalami
kekerasan dan eksploitasi.
2. Keterbatasan
pendidikan, mereka sering rentan terhadap pekerjaan yang eksploitatif dan
perdagangan karena mereka umumnya tidak terlalu paham hak-haknya.
3. Peluang
ekonomi yang terbatas, mengingat terbatasnya pilihan ekonomi dan kekuatan
tawar-menawar mereka, perempuan muda rentan terhadap pekerjaan yang
eksploitatif dan perdagangan.
· Kurangnya pencatatan kelahiran
Anak dan
orang dewasa yang tidak terdaftar serta tidak memiliki akta kelahiran amat
rentan terhadap eksploitasi. Orang yang tidak dapat memperlihatkan akta
kelahirannya sering kali kehilangan perlindungan yang diberi hukum karena
dimata negara secara teknis mereka tidak ada. Rendahnya registrasi
kelahiran, khususnya di kalangan masyarakat desa, memfasilitasi
perdagangan manusia. Agen dan pelaku perdagangan memanfaatkan ketiadaan akta
kelahiran asli untuk memalsukan umur perempuan muda agar mereka dapat bekerja
di luar negeri. Contoh, seperti yang dikemukakan dalam bagian
Kalimantan Barat dari laporan ini (bagian VF), agen yang sah
maupun gelap memakai kantor imigrasi di Entikong, Kalimantan Barat, untuk
memproses paspor palsu bagi gadis-gadis di bawah umur.
· Korupsi dan lemahnya penegakan hukum
Korupsi di
Indonesia telah menjadi suatu yang lazim dalam kehidupan sehari-hari, karena
baik kalangan atas maupun bawah telah melakukan praktik korupsi ini.
Karena itulah, korupsi memainkan peran integral dalam memfasilitasi perdagangan
perempuan dan anak di Indonesia, disamping dalam menghalangi penyelidikan dan
penuntutan kasus perdagangan. Mulai dari biaya illegal dan pemalsuan dokumen.
Dampak korupsi ini terhadap buruh migran perempuan dan anak harus dipelajari
dari umur mereka yang masih muda dan lugu, yang tidak tahu bagaimana cara
menjaga diri di kota-kota besar karena mereka tidak terbiasa dan sering
malu untuk mencari bantuan. Tidak peduli berapa usia dan selugu apa pun
mereka, mereka yang berimigrasi dengan dokumen palsu takut status
illegal mereka akan membuat mereka jatuh ke dalam kesulitan lebih jauh
dengan pihak berwenang atau dapat dideportasi. Pelaku perdagangan memanfaatkan
ketakutan ini, untuk terus mengeksploitasi para perempuan dan proyek. Masalah
lain yaitu lemahnya hukum di Indonesia.
Untuk
penyelidikan dan penuntutan kasus-kasus perdagangan, sistem hukum Indonesia
sampai sekarang masih lemah, lamban dan mahal. Sangat sedikit
transparansi, sehingga hanya sedikit korban yang mempercayakan kepentingan mereka
kepada sistem tersebut. Perilaku kriminal memiliki sumberdaya dan koneksi
untuk memanfaatkan sistem tersebut. Akibatnya, banyak korban perdagangan
yang tidak mau menyelesaikan masalah melalui proses hukum. Hal ini
mengakibatkan praktik pedagangan/trafficking semakin meningkat dan masih
berlangsung.
· Media massa
Media massa
masih belum memberikan perhatian yang penuh terhadap berita dan informasi yang
lengkap tentang trafficking dan belum memberikan kontribusi yang
optimal dalam upaya pencegahan maupun penghapusannya. Bahkan tidak sedikit
justru memberitakan yang kurang mendidik dan bersifat pornografis yang
mendorong menguatnya kegiatan trafficking dan kejahatan susila lainnya.
· Pendidikan minim
dan tingkat buta huruf
Survei
sosial-ekonomi nasional tahun 2000 melaporkan bahwa 34% penduduk Indonesia
berumur 10 tahun ke atas belum/tidak tamat SD/tidak pernah bersekolah,
34,2% tamat SD dan hanya 155 yang tamat SMP. Menurut laporan BPS pada tahun
2000 terdapat 14% anak usia 7-12 dan 24% anak usia 13-15 tahun tidak
melanjutkan ke SLTP karena alasan pembiayaan. Orang dengan pendidikan yang
terbatas atau buta aksara kemungkinan besar akan menderita keterbatasan
ekonomi. Dan mereka juga tidak akan mempunyai pengetahuan kepercayaan diri
untuk mengajukan pertanyaan tentang ketentuan-ketentuan dalam kontrak dan
kondisi kerja mereka. Selain itu, mereka akan sulit mencari pertolongan ketika
mereka kesulitan saat berimigrasi atau mencari pekerjaan. Mereka akan kesulitan
bagaimana mengakses sumber daya yang tersedia, tidak dapat membaca atau
mengerti brosur iklan layanan masyarakat lain mengenai rumah singgah atau nomor
telepon yang bisa dihubungi untuk mendapatkan bantuan. Seorang yang rendah
melek huruf sering kali secara lisan dijanjikan akan mendapat jenis pekerjaan
atau jumlah gaji tertentu oleh seorang agen, namun kontrak yang mereka tanda
tangani (yang mungkin tidak dapat mereka baca) mencantumkan ketentuan
kerja serta kompensasi yang jauh berbeda, mengarah ke eksploitasi.
C. Bentuk-Bentuk Trafficking
Ada beberapa
bentuk trafficking manusia yang terjadi pada perempuan dan anak-anak:
· Kerja
Paksa Seks & Eksploitasi seks, baik di luar negeri maupun di wilayah
Indonesia
· Pembantu
Rumah Tangga (PRT), baik di luar ataupun di wilayah Indonesia
· Bentuk
Lain dari Kerja Migran, baik di luar ataupun di wilayah Indonesia
· Penari,
Penghibur & Pertukaran Budaya terutama di luar negeri
· Pengantin
Pesanan, terutama di luar negeri
· Beberapa
Bentuk Buruh/Pekerja Anak, terutama di Indonesia
· Trafficking/penjualan
Bayi, baik di luar negeri ataupun di Indonesia
Sasaran yang
rentan menjadi korban perdagangan perempuan antara lain:
· Anak-anak
jalanan
· Orang
yang sedang mencari pekerjaan dan tidak mempunyai pengetahuan informasi yang
benar mengenai pekerjaan yang akan dipilih
· Perempuan
dan anak di daerah konflik dan yang menjadi pengungsi
· Perempuan
dan anak miskin di kota atau pedesaan
· Perempuan
dan anak yang berada di wilayah perbatasan anatar negara
· Perempuan
dan anak yang keluarganya terjerat hutang
· Perempuan
korban kekerasan dalam rumah tangga, korban pemerkosaan
D.
Undang-Undang tentang Trafficking
Berikut ini
beberapa peraturan perundang-undangan :
· Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 285, 287-298; Pasal 506
· UU
RI No. 7 tahun 1984 (ratifikasi konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan/CEDAW; pasal 2,6,9,11,12,14,15,16)
· UU
RI No. 20 tahun 1999 (ratifikasi konvensi ILO No. 138 tentang Usia
Minimum yang Diperbolehkan Bekerja)
· UU
RI No. 1/2000 (ratifikasi konvensi ILO No. 182 tentang Bentuk-Bentuk
Pekerjaan Terburuk untuk Anak)
· UU
RI no. 29/1999 (ratifikasi konvensi untuk Mengeliminasi Diskriminasi Rasial)
· Keppres
No 36/1990 ( ratifikasi konvensi Hak Anak)
E. Pencegahan dan Penanggulangan Human
Trafficking
Perdagangan
orang, khususnya perempuan sebagai suatu bentuk tindak kejahatan yang kompleks,
tentunya memerlukan upaya penanganan yang komprehensif dan terpadu. Tidak hanya
dibutuhkan pengetahuan dan keahlian profesional, namun juga pengumpulan dan
pertukaran informasi, kerjasama yang memadai baik sesama aparat penegak hukum
seperti kepolisian, kejaksaan, hakim maupun dengan pihak-pihak lain yang
terkait yaitu lembaga pemerintah (kementerian terkait) dan lembaga non
pemerintah (LSM) baik lokal maupun internasional. Semua pihak bisa saling
bertukar informasi dan keahlian profesi sesuai dengan kewenangan masing-masing
dan kode etik instansi. Tidak hanya perihal pencegahan, namun juga penanganan
kasus dan perlindungan korban semakin memberikan pembenaran bagi upaya
pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan secara terpadu. Hal ini
bertujuan untuk memastikan agar korban mendapatkan hak atas perlindungan dalam
hukum.
Dalam konteks
penyidikan dan penuntutan, aparat penegak hukum dapat memaksimalkan jaringan
kerjasama dengan sesama aparat penegak hukum lainnya di dalam suatu wilayah
negara, untuk bertukar informasi dan melakukan investigasi bersama. Kerjasama
dengan aparat penegak hukum di negara tujuan bisa dilakukan melalui pertukaran
informasi, atau bahkan melalui mutual legal assistance, bagi pencegahan dan
penanggulangan perdagangan perempuan lintas negara.
Upaya
Masyarakat dalam pencegahan trafficking yakni dengan meminta dukungan ILO, dan
Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) yang melakukan Program Prevention
of Child Trafficking for Labor and Sexual Exploitation. Tujuan dari program ini
adalah :
1. Memperbaiki
kualitas pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Menegah Atas
untuk memperluas angka partisipasi anak laki-laki dan anak perempuan,
2. Mendukung
keberlanjutan pendidikan dasar untuk anak perempuan setelah lulus sekolah
dasar,
3. Menyediakan
pelatihan keterampilan dasar untuk memfasilitasi kenaikan penghasilan,
4. Menyediakan
pelatihan kewirausahaan dan akses ke kredit keuangan untuk memfasilitasi usaha
sendiri,
5. Merubah
sikap dan pola pikir keluarga dan masyarakat terhadap trafficking anak.
F. Hambatan
Pemberantasan Trafficking
Upaya
penanggulangan perdagangan manusia khususnya perdagangan perempuan dan anak
mengalami berbagai hambatan. Dari berbagai upaya yang telah dilakukan SP selama
ini, terdapat 3 (tiga) hal yang merupakan hambatan kunci dalam melakukan upaya
tersebut, yaitu antara lain:
Budaya
masyarakat (culture)
Anggapan
bahwa jangan terlibat dengan masalah orang lain terutama yang berhubungan
dengan polisi karena akan merugikan diri sendiri, anggapan tidak usah
melaporkan masalah yang dialami, dan lain sebagainya. Stereotipeyang ada di
masyarkat tersebut masih mempengaruhi cara berpikir masyarakat dalam
melihat persoalan kekerasan perempuan khususnya kekerasan yang dialami korban
perdagangan perempuan dan anak.
Kebijakan
pemerintah khususnya peraturan perundang-undangan (legal substance)
Belum adanya
regulasi yang khusus (UU anti trafficking) mengenai perdagangan perempuan dan
anak selain dari Keppres No. 88 Tahun 2002 mengenai RAN penghapusan
perdagangan perempuan dan anak. Ditambah lagi dengan masih kurangnya pemahaman
tentang perdagangan itu sendiri dan kurangnya sosialisasi RAN anti trafficking tersebut.
Aparat
penegak hukum (legal structure)
Keterbatasan
peraturan yang ada (KUHP) dalam menindak pelaku perdagangan perempuan dan anak
berdampak pada penegakan hukum bagi korban. Penyelesaian beberapa kasus
mengalami kesulitan karena seluruh proses perdagangan dari perekrutan hingga
korban bekerja dilihat sebagai proses kriminalisasi biasa.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam
penanganan perdagangan perempuan dan anak ini, diharapkan keterlibatan berbagai
pihak di dalamnya mulai dari pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah,
kalangan akademisi, kelompok masyarakat, individu untuk dapat membantu
korban perdagangan perempuan dan anak maupun untuk memberikan dukungan dan
tekanan terhadap pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang berpihak
melindungi korban dan menjerat pelaku perdagangan.
B. Saran
Yang dapat
Anda lakukan jika Anda, Saudara atau teman Anda menjadi korban perdagangan (trafficking) Berikan
dukungan secara penuh, dan:
1. Kumpulkan
bukti-bukti dengan mencatat tanggal, tempat kejadian serta ciri-ciri pelaku,
2. Pilih
orang yang dapat dipercaya, keluarga untuk menceritakan permasalahan yang
terjadi. Minta tolong untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib,
3. Laporkan
segera kepada aparat kepolisian terdekat,
4. Minta
bantuan/pendampingan kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH),
5. Konsultasikan
kepada lembaga-lembaga yang menangani masalah perempuan yaitu organisasi
perempuan, organisasi masyarakat yang memahami pola perdagangan (trafficking).