Tragedi Bintaro adalah peristiwa tabrakan hebat dua buah kereta api di
daerah Pondok Betung, Bintaro, Jakarta
Selatan, pada tanggal 19 Oktober 1987 yang
merupakan kecelakaan terburuk dalam sejarah perkeretaapian di Indonesia.
Peristiwa ini juga menyita perhatian publik dunia.
Sebuah
kereta api yang berangkat dari Rangkasbitung,
bertabrakan dengan kereta api yang berangkat dari Stasiun Tanah Abang. Peristiwa ini tercatat
sebagai salah satu musibah paling buruk dalam sejarah transportasi di Indonesia.
Penyelidikan
setelah kejadian menunjukkan adanya kelalaian petugas Stasiun
Sudimara yang memberikan sinyal aman
bagi kereta api dari arah Rangkasbitung, padahal tidak ada pernyataan aman
dari Stasiun Kebayoran. Hal ini dilakukan karena
penuhnya jalur di stasiun Sudimara.
Kecelakaan
terjadi di antara Stasiun Pondokranji dan Pemakaman Tanah Kusir, Sebelah
Utara SMUN 86 Bintaro. Di dekat tikungan melengkung
Tol Bintaro, tepatnya di lengkungan S, berjarak kurang lebih 200 m setelah palang
pintu Pondok Betung dan ± 8 km sebelum
Stasiun Sudimara.
Peristiwa
bermula atas kesalahan kepala Stasiun
Serpong memberangkatkan KA 225 ke Stasiun
Sudimara, tanpa mengecek kepenuhan jalur KA di Stasiun Sudimara. Sehingga,
ketika KA 225, jurusan Rangkasbitung-Jakarta
Kota, tiba di Stasiun Sudimara pada pukul 6:45 WIB, stasiun Sudimara yang
punya 3 jalur saat itu penuh dengan KA.
Jalur 1: KA
225
Jalur 2:
KA Indocement hendak
ke arah Jakarta juga
Jalur 3:
Gerbong tanpa lokomotif
KA 225
sedianya bersilang dengan KA 220 Patas di Stasiun
Kebayoran yang hendak ke Merak.
Itu berarti KA 220 Patas di stasiun Kebayoran harus mengalah, namun PPKA Stasiun
Kebayoran tidak mau mengalah dan tetap memberangkatkan KA 220. PPKA Stasiun
Sudimara pun lantas memerintahkan juru langsir untuk melangsir KA 225 masuk
jalur 3. Saat akan dilangsir, masinis tidak dapat melihat semboyan yang
diberikan, karena penuhnya lokomotif pada saat itu. Kemudian masinis bertanya
kepada penumpang yang berada di lokomotif "berangkat ?"
penumpang menjawab "berangkat !!". Sang masinis pun
membunyikan Semboyan 35 dan berjalan. Juru langsir
yang kaget mengejar kereta itu dan naik di gerbong paling belakang. Para
petugas stasiun kaget, beberapa ada yang mengejar kereta itu menggunakan sepeda
motor. PPKA Sudimara Djamhari mencoba memberhentikan kereta dengan
menggerak-gerakkan sinyal, namun tidak berhasil. Dia pun langsung
mengejar kereta itu dengan mengibarkan bendera merah. Namun sia-sia, Djamhari
pun kembali ke stasiun dengan sedih, dia membunyikan semboyan genta darurat kepada
penjaga perlintasan Pondok Betung. Tetapi kereta tetap melaju. Setelah
diketahui, ternyata penjaga perlintasan Pondok Betung tidak hafal semboyan genta.
KA 225
berjalan dengan kecepatan 25km/jam karena baru melewati perlintasan, sedangkan KA 220
berjalan dengan kecepatan 30km/jam.
Dua kereta
api yang sama-sama sarat penumpang, Senin pagi itu
bertabrakan di tikungan S ± Km 18.75. Kedua kereta hancur, terguling dan
ringsek. Kedua lokomotif dengan seri BB 30316 danBB 30616 rusak
berat. Jumlah korban jiwa 156 orang, dan ratusan penumpang lainnya luka-luka.
Akibat
tragedi tersebut, masinis Slamet Suradio diganjar 5 tahun kurungan. Ia
juga harus kehilangan pekerjaan, sehingga ia memilih pulang ke kampung
halamannya, menjadi petani di Purworejo.
Sebelumnya, ia telah berkarya selama 20 tahun di perusahaan KA.
Nasib yang
serupa juga menimpa Adung Syafei, kondektur KA 225. Dia harus mendekam di
penjara selama 2 tahun 6 bulan. Sedangkan Umrihadi (Pemimpin Perjalanan Kereta
Api, PPKA, Stasiun Kebayoran Lama) dipenjara selama 10 bulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar